PENGANTAR FILSAFAT PENDIDIKAN
BAB I
PENGERTIAN FILSAFAT
A.
Definisi
Filsafat
1.
Definisi
Filsafat secara Etimologi
Istilah filsafat
(Inggris: philosophy; Arab: Falsafah) berasal dari dua kata dalam
bahasa Yunani kuno, yaitu philein atau
Philos yang berarti cinta atau
sahabat, dan shopia atau sophos
yang berarti kebijaksanaan. Kedua kata tersebut membentuk istilah philosophia (filsafat) berarti cinta
kepada kebijaksanaan atau sahabat kebijaksanaan. Karena istilah philosophia dalam bahasa Indonesia
identik dengan istilah filsafat, maka orangnya, yaitu orang yang mencintai
kebijaksanaan disebut filsuf.
2.
Definisi
Filsafat Secara Operasional
Ditinjau dari
segi proses berfikirnya, filasafat dapat didefinisikan sebagai suatu proses
berpikir reflektif sistematis dan kritis kontemplatif untuk menghasilkan sistem
pikiran atau sistem teori tentang hakikat segala sesuatu secara komprehensif.
Filsafat sebagai
hasil berfikir dapat didefinisikan sebagai suatu system teori atau sistem
pikiran tentang hakikat segala sesuatu yang bersifat komprehensif, yang
diperoleh melalui berpikir reflektif sistematis dan kritis kontemplatif.
3.
Definisi
Filsafat Secara Leksikal
Ditinjau secara
leksikal, sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Bahasa Indonesia, bahwa filsafat
berarti sikap hidup atau pandangan hidup (Balai Pustaka, 1995)
B.
Karakteristik
Filsafat
Adapun karakteristik umum berpikir filsafati atau
sifat-sifat berfilsafat itu antara lain sebagai berikut:
1.
Karakteristik
Objek Studi Filsafat
Tentang objek studi filsafat dibedakan ke
dalam dua jenis, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah
apa yang dipikirkan filsuf dalam wujud materinya, sedangkan objek formal adalah
apa yang secara khas dipermasalahkan atau dipertanyakan para filsuf berkenaan
dengan objek material tadi.
a. Objek
Material Filsafat
Adalah segala sesuatu yang ada, yang meliputi:
1) Segala
sesuatu yang ada yang telah tergelar di dunia (atau yang telah diciptakan
Tuhan) seperti alam, manusia, pengetahuan, dan nilai.
2) Segala
sesuatu yang ada sebagai hasil kreasi manusia, seperti: politik, ekonomi,
hukum, ilmu, pendidikan, dsb.
b. Objek
formal
Adalah pertanyaan reflektif atau pertanyaan yang memerlukan jawaban,
adapun pertanyaan tersebut berkenaan dengan segala sesuatu yang bersifat
mendasar.
2.
Karakteristik
Proses Berfikir Filsafati
Pertama, bahwa
proses berfilsafat dimulai dengan ketakjuban atau ketidakpuasan atau keraguan,
dan hasrat bertanya yang muncul pada diri seseorang filsuf terhadap sesuatu
objek yang dialaminya (Jan Hendrik Rapar, 1996).
Kedua,
permasalahan yang dihadapi seseorang filsuf selanjutnya dipikirkan oleh filsuf
yang bersangkutan melalui prosedur berpikir tertentu dalam rangka mencari
jawabannya. Berpikir demikian disebut berpikir reflektif sistematis, yaitu
berpikir untuk memecahkan masalah yang dihadapi melalui prosedur berpikir
tertentu.
Ketiga, bahwa
berpikir filasafati bersifat kontemplatif, artinya berpikir untuk mengungkap
hakikat dari segala sesuatu yang dipikirkan. Berpikir demikian sering disebut
pula sebagai berpikir spekulatif atau berpikir radikal.
Keempat, bahwa
dalam rangka mengungkap hakikat segala sesuatu yang dipertanyakannya itu para
filsuf berpikir secara sinoptik, artinya berpikir dengan pola yang bersifat
merangkum keseluruhan tentang apa yang sedang dipikirkan atau dipertanyakan,
pola berpikir ini merupakan kebalikan dari pola berpikir analitik yang menjadi
karakteristik berpikir ilmiah.
Kelima, bahwa
dalam rangka berpkirnya itu para filsuf melibatkan seluruh pengalaman
insaninya, sehingga pemikiran mereka itu bersifat subjektif.
3.
Karakteristik
Hasil Berfilsafat
Adapun
karakteristik atau sifat-sifat yang dimaksud adalah: Pertama, Filsafat sebagai
suatu hasil berfikir bersifat normatif atau preskriptif. Kedua, filsafat
sebagai hasil berpikir individualistik unik. Ketiga, sistem teori atau sistem
pikiran sebagai hasil berfilsafat disajikan para filsuf secara tematik
sistematis dalam bentuk naratif atau profetik.
4.
Karakteristik
Kebenaran Filsafat
Implikasi dari
cara-cara berpikirnya dan hasil pemikirannya yang bersifat subjektif maka
kebenaran filsafat bersifat subjektif paralelistik. Dengan kata lain bahwa
masing-masing aliran filsafat memiliki kebenaran yang berlaku dalam relnya
masing-masing.
C.
Perbandingan
Filsafat, Ilmu (Sains), Seni dan Agama
1.
Perbandingan
Filsafat dengan Ilmu (Sains)
Dalam hal
tertentu antara filsafat dengan ilmu (sains) memiliki persamaan. Persamaan yang
dimiliki antara keduanya adalah dalam hal cara berpikirnya yang bersifat kritis.
Apabila kita
mengkaji uraian Titus dkk, dalam bukunya living
issue in philosophy (1979), maka dapat diidentifikasi adanya enam perbedaan
yaitu:
1) Filsafat
berurusan dengan pengalaman yang bersifat menyeluruh atau komprehensif sebagai
objek studinya. Sebaliknya ilmu (sains) berurusan dengan bidang pengalaman yang
terbatas atau spesifik sebagai objek studinya.
2) Pendekatan
berpikir filsafat bersifat sintetik dan sinoptik, sedangkan pendekatan berpikir
ilmu (sains) bersifat analitik.
3) Filsafat
mementingkan personalitas, nilai-nilai, dan seluruh bidang pengalaman. Sebaliknya
ilmu (sains) cenderung mengeliminasi faktor-faktor personal, dan mengabaikan
nilai-nilai demi menghasilkan objektivitas.
4) Filsafat
bertujuan untuk mengkritik, menilai dan menertibkan tujuan-tujuan akhair.
Adapun ilmu (sains) mementingkan aspek riil dari alam (benda-benda),
mengobservasinya, mengkonstruksi dan mengontrol proses-prosesnya merupakan
tujuan ilmu (sains).
5) Filsafat
lebih tertarik untuk mementingkan hubungan antara fakta-fakta khusus dengan
skema yang lebih besar. Adapun ilmu (sains) mementingkan deskripsi hukum-hukum
fenomena dan hubungan sebab akibat.
6) Hasil
berfilsafat bersifat normatif, sedangkan ilmu bersifat deskriptif.
2.
Perbandingan
Filsafat dengan Seni
Filsafat maupun
seni kedua-duanya merupakan hasil kreasi insani, dan kedua-duanya asdalah hasil
kreasi yang bersifast individualistik, subjektif dan unik. Adapun perbedaannya
antara lain bahwa:
1) Filsafat
merupakan sistem pikiran, sedangkan seni merupakan sistem pengungkapan cita
rasa.
2) Sifat
isi kreasi filasafat merupakan sistem pikiran yang komprehensif mendasar dan
interpretatif normatif. Sedangkan sifat isi kreasi seni merupakan sistem
pengungkapan cita rasa yang bersifat khusus, interpretatif estetis dan
inspiratif spontan.
3) Cara
penyusunan kreasi filsafat adalah melalui berpikir reflektif sistematis dan
kritis kontemplatif. Sedangkan cara penyusunan kreasi seni adalah melalui
penghayatan estetis yang diungkapkan melalui bentuk tertentu.
4) Penyajian:
Filsafat disajikan dalam bentuk naratif atau profetik yang mungkin pula dalam
bentuk seni tertentu semacam drama atau puisi. Sedangkan seni disajikan dalam
bentuk sastera, drama, puisi, lukisan, bangunan, patung, musik, lagu dsb.
3.
Perbandingan
Filsafat dengan Agama
Filsafat dan
agama mempunyai persamaan tertentu, antara lain adalah sama-sama mengurusi
maslah kebenaran, serta masalah nilai baik dan jahat, juga memiliki
karakteristik normatif atau preskriptif. Adapun perbedaannya adalah:
1) Filsafat
dimulai dengan ketakjuban, keraguan, atau ketidakpuasan dan hasrat bertanya.
Sedangkan agama dimulai dengan keimanan atau percaya.
2) Filsafat
merupakan hasil berpikir reflektif sistematis, dan kritis kontempltif.
Sedangkan agama didapat melalui wahyu yang disampaikana Tuhan melalu RasulNya.
3) Filsafat
berisi tentang sistem pikiran mengenai hakikat realistik (metafisika), hakikat
pengetahuan (epistemologi), hakikat nilai (aksiologi) dan hakikat dari hasil kreasi
manusia seperti politik, pendidikan, dsb. Sedangkan agama berisi tentang sistem
credo (tata keimanan atau tata keyakinan) mengenai adanya Yang Mutlak di luar
manusia, sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada Yang Mutlak, dan sistem
norma (kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, serta hubungan
manusia dengan makhluk yang lainnya.
4) Sekalipun
Filsafat dan agama memiliki persamaan dalam hal sifatnya yang normatif atau
preskriptif, tetapi agama memiliki sifat imperatif, artinya bahwa agama
mengandung ajaran yang mewajibkan.
5) Sifat
kebenaran filasafat adalah subjektif paralelistik, sedangkan kebenaran agama
bersifat mutlak.
D.
Cabang
dan Aliran Filsafat
1.
Cabang-cabang
Filsafat
Berdasarkan
objek yang dipelajarinya filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian,
yaitu: 1) Filsafat Umum atau Filsafat Murni, dan 2) Filsafat Khusus atau
Filsafat Terapan (Redja Mudyahardjo, 1995).
Filsafat umum atau
filsafat murni adalah cabang-cabang filasafat yang objek studinya mengenai
segala sesuatu yang ada, yang telah tergelar di dunia (atau yang telah
diciptakan Tuhan). Adapun Filsafat khusus atau filasafat terapan adalah
cabang-cabang filasafat yang objek studinya mengenai segala sesuatu sebagai
hasil kreasi manusia.
2.
Aliran
Filsafat
Aliran-aliran filsafat antara lain:
idealisme, materialisme, pragmatisme, rasionalisme, empirisme,
eksistensialisme, konstruktivisme, dsb
E.
Kesalahanpahaman,
Peranan, dan Manfaat Filsafat
1. Kesalahpahaman terhadap filsafat
·
Filsafat merupakan sesuatu yang serba rahasia,
mistis dan aneh.
·
Filsafat sebagai suatu yang susah dipelajari.
·
Filsafat itu berbahaya, tak perlu dipelajari
karena pikiran orang yang belajar filsafat biasanya aneh-aneh, tidak sama
dengan pikiran masyarakat pada umumnya, bahkan ada yang menjadi kafir.
·
Filsafat tidak berguna lagi, selaku induk segala
ilmu pengetahuan kini telah renta dan mandul. Ia tak mampu dan tak mungkin lagi
untuk mengandung dan melahirkan.
·
Filsafat tidak bermakna atau “omong kosong” karena
tidak memberikan petunjuk teknis mengenai kehidupan.
2. Peranan Filsafat
Filsafat telah
melaksanakan tiga peranan utamanya dalam sejarah pemikiran manusia, yaitu
sebagai pendobrak tradisi dan kebiasaan, pembebas dari kebodohan, dan
pembimbing untuk berpikir rasional (Jan Hendrik Rapar, 1996).
·
Manfaat
Filsafat
a. Manfaat
filsafat bagi perkembangan ilmu (sains)
Pertama, filasafat mempelajari
segala sesuatu, sebab itu maka filsafat dapat dan telah memberikan
konsep-konsep dasarnya sebagai titik tolak (asumsi) bagi perkembangan ilmu.
Kedua,
Filsafat berupaya membimbing perkembangan akanya (ilmu) agar menuju ke arah
yang baik dan benar melalui evaluasi, kritik dan koreksinya atas aarh tujuan
dan nilai kegunaan ilmu bagi kemaslahatan umat manusia.
Ketiga,
filsafat sebagai penghubung dan pengintegrasi antar disiplin ilmu yang
terkotak-kotak.
b. Manfaat
Filsafat bagi Kehidupan Praktis
·
Filsafat memberikan konsep-konsep dan menunjukkan
arah tujuah.
·
Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan
tindakan praktis.
·
Filsafat mengembangkan sikap kritis dan
kemandirian intelektual.
·
Filsafat mengembangkan sikap toleransi.
BAB II
FILSAFAT PENDIDIKAN
A.
Pengertian
Filsafat Pendidikan
1. Filsafat Pendidikan sebagai Filsafat Khusus
atau Filsafat Terapan
Filsafat pendidikan merupakan
filsafat khusus, sebab filsafat pendidikan memiliki objek yang khusus, yaitu
berkenaan dengan pendidikan sebagai hasil kreasi manusia. Dilain pihak,
filsafat pendidikan disebut juga sebagai filsafat terapan sebab filsafat
pendidikan pada dasarnya merupakan apikasi filsafat umum dalam rangka
memecahkan berbagai permasalahan tentang hakikat pendidikan.
2. Filsafat Pendidikan sebagai Proses dan
Hasil Berpikir
Sebagai proses berpikir, filsafat
pendidikan dapat didefinisikan sebagai suatu proses berpikir refleksi
sistematis dan kritis kontemplatif untuk menghasilkan sistem pikiran atau
sistem teori tentang hakikat pendidikan secara komprehensif.
Sebagai hasil berpikir, filsafat
pendidikan adalah sekelompok teori atau sistem pikiran tentang hakikat
pendidikan, yang dihasilkan melalui berpikir reflektif sistematis dan kritis
kontemplatif.
B.
Karakteristik
Filsafat Pendidikan
1. Karakteristik Objek Studi Filsafat
Pendidikan
Objek
formal studi filsafat pendidikan adalah keseluruhan permasalahan atau
pertanyaan mengenai pendidikan yang bersifat mendasar. Jadi objek studi
filsafat pendidiikan memiliki karakteristik komprehensif mendasar. Bahwa
pertanyaan atau permasalahan filsafat pendidikan pun memiliki sifat spekulatif,
abadi dan terbuka.
2. Karakteristik Tujuan Filsafat Pendidikan
Filsafat
pendidikan bertujuan untuk menghasilkan sistem pikiran atau sistem teori
mengenai apa pendidikan, mengapa pendidikan, ke mana arah tujuan pendidikan dan
bagaimana hakikat pendidikan.
3. Karakteristik Proses Studi Filsafat
Pendidikan
Pertama, bahwa proses berfilsafat
dimulai dengan ketakjuban atau ketidakpuasan atau keraguan, dan hasrat bertanya
yang muncul pada diri seseorang filsuf terhadap sesuatu objek yang didalamnya
tentang pendidikan.
Kedua, permasalahan atau pertanyaan
tentang pendidikan yang dihadapi seseorang filsuf selanjutnya dipikirkan oleh
filsuf yang bersangkutan melalui prosedur berpikir tententu dalam rangka
mencari jawabannya.
Ketiga, bahwa berpikir filsafati
bersifat kontemplatif, artinya berpikir untuk mengungkap hakikat dari segala
sesuatu tentang pendidikan yang dipikirkan.
Keempat, bahwa dalam rangka
mengungkap hakikat segala sesuatu tentang pendidikan yang dipertanyakannya itu,
para filsuf berpikir secara sinoptik, artinya berpikir dengan pola yang
bersifat merangkum keseluruhan tantang apa yang sedang dipikirkan atau
dipertanyakan.
Kelima, Para pilsuf bersifat
subjektif, akibatnya maka hasil pemikirannya berupa sistem idep-ide atau sistem
pikiran atau teori-teori tentang pendidikan akan dipengaruhi oleh latar
belakang pengalaman-pengalaman filsuf yang bersangkutan.
4. Karakteristik Hasil Studi Filsafat
Pendidikan
·
Filsafat pendidikan sebagai suatu hasil berpikir
bersifat normatif atau preskriptif.
·
Filsafat pendidikan sebagai hasil berpikir
bersifat individualistik unik.
·
Sistem teori atau sistem pikiran pendidikan
sebagai hasil bersifilsafat disajikan para filsuf secara tematik sitematis
dalam bentuk naratif atau profetik.
·
Adanya berbagai aliran di dalam filsafat umum
mengimplikasikan adanya berbagai aliran pula di dalam filsafat pendidikan.
5. Karakteristik Kebenaran Filsafat Pendidikan
Kebenaran filsafat pendidikan
bersifat subjektif-paralelistik, maksudnya bahwa suatu sistem teori atau sistem
pikirtan filsafat pendidikan adalah benar bagi filsuf yang bersangkutan atau
bagi para penganutnya msing-masing.
C.
Fungsi
Filsafat Pendidikan
1.
Memberikan wawasan yang bersifat komprehensif
mengenai hakikat pendidikan.
2.
Menjadi asumsi bagi praktek pendidikan.
3.
Memberi pedoman kemana pendidikan seharusnya
diarahkan, yang dirumuskan dalam tujuan pendidikan.
4.
Membangun sikap kritis dan kemandirian
intelektual di tengah-tengah teori pendidikan dan praktek pendidikan yang ada
atau sedang berlangsung.
BAB
III
FILSAFAT
PENDIDIKAN IDEALISME
A.
Konsep
Filsafat Umum Idealisme
1.
Metafisika
Hakikat manusia ukanlah badannya,
melainkan jiwa/spiritnya, manusia adalah makhluk berpikir, mampu memilih atau
makhluk yang memiliki kebebasan, hidup dengan suatu aturan moral yang jelas dan
bertujuan. Adapun tugas dan tujuan hidup manusia adalah hidup sesuai dengan
bakatnya serta nilai dan norma moral yang diturunkan oleh Yang Absolut.
2. Epistemologi
Menurut filsuf Idealisme, proses mengetahui
terjadi dalam pikiran, manusia memperoleh pengetahuan melalui berpikir.
Disamping itu, manusia dapat pula memperoleh pengetahuan melalui intuisi.
Bahkan beberapa filsuf Idealisme percaya bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara
mengingat kembali.
3. Aksiologi
Manusia diperintah oleh nilai-nilai
moral imperatif dan abadi yang bersumber dari realitas Yang Absolut.
B.
Implikasi
terhadap Pendidikan
1. Tujuan Pendidikan
Pendidikan bertujuan untuk membantu
perkembangan pikiran dan diri pribadi (self) siswa, juga untuk membantu
mengembangkan karakter serta mengembangkan bakat manusia dan kebijakan sosial.
2. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan Idealisme
berisikan pendidikan liberal dan pendidikan vokasional/praktis. Pendidikan
leberal dimaksudkan untuk pengembangan kemampuan rasional dan moral. Adapun
pendidikan vokasional untuk pengembangan kemampuan suatu kehiduan/pekerjaan.
3. Metode Pendidikan
Metode mengajar hendaknya mendorong
siswa memperluas cakrawala, mendorong berpikir reflektif, mendorong
pilihan-pilihan moral pribadi, memberikan keterampilan-keterampilan berpikir
logis, memberikan kesempatan menggunakan pengetahuan untuk masalah-masalah
moral dan sosial, meningkatkan minat terhadap isi mata pelajaran, dan mendorong
siswa untuk menerima nilai-nilai peradaban manusia (Callahan and Clark, 1983).
4. Peran Guru dan Siswa
Menurut filsuf idealisme, guru harus
unggul (excellent) agar menjadi
teladan bagi para siswanya. keunggulan harus ada pada guru, baik secara moral
maupun intelektual.
BAB IV
FILSAFAT PENDIDIKAN REALISME
A.
Konsep
Filsafat Umum
1. Metafisika
Hakikat Realitas. Jika filsuf
idealisme menekankan pikiran-jiwa/spirit/roh sebagai hakikat realitas,
sebaliknya menurut para flsuf realisem bahwa duni aterbuat dari sesuatu yang
nyata, substansial dan material yang hadir dengan sendirinya (entity).
2. Epistemologi
Ketika
lahir, jiwa atau pikiran manusia adalah kosong. Saat dilahirkan manusia tidak
membawa pengetahuan atau ide-ide bawaan, Jhon Locke mengibaratkan pikiran/jiwa
manusia sebagai tabula rasa (meja lilin/kertas putih yang belum ditulisi).
Pengetahuan diperoleh manusia bersumber dari pengalaman dia. Manusia dapat
menggunakan pengetahuannya dalam berpikir untuk menemukan objek-objek serta
hubungan-hubungannya yang tidak ia persepsi (Callahan and Clark, 1983).
3. Aksiologi
Edward J. Power (1982) mengungkapkan
Tingkah laku manusia diatur oleh hukum alam, dan pada tingkat yang paling
rendah diuji melalui konvensi atau kebiasaan, dan adat istiadat di dalam masyarakat.
B.
Implikasi
terhadap Pendidikan
1. Tujuan Pendidikan
Pendidikan
bertujuan agar para siswa dapat bertahan hidup di dunia yang bersifat alamiah,
memperoleh keamanan dan hidup bahagia.
2. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan sebaiknya
meliputi:
1) Sains
/ ilmu pengetahuan alam dan matematika
2) Ilmu-ilmu
kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial
3) nilai-nilai.
3. Metode Pendidikan
Metode mengajar yang disarankan para
filsuf realisme bersifast otoriter. Guru mewajibkan para siswa untuk dapat
menghafal, menjelaskan dan membandingkan fakta-fakta, mengiterpretasi
hubungan-hubungan dan mengambil kesimpulan makna-makna baru.
4. Peran Guru dan Siswa
Guru adalah pengelola kegiatan
belajar-mengajar di dalam keals, guru adalah penentu materi pelajaran, guru
harus menggunakan minat siswa yang berhubungan dengan mata pelajaran, dan
membuat mata pelajaran sebagai sesuatu yang kongkrit untuk dialami siswa. Para
siswa memperoleh disiplin melalui ganjaran dan prestasi, mengendalikan
perhatian para siswa, dan membuat siswa aktif (Callahan and Clark, 1983).
BAB V
FILSAFAT PENDIDIKAN PRAGMATISME
A.
Konsep
Filsafat Umum
1. Metafisika
Hakikat realitas adalah segala
sesuatu yang dialami manusia (pengalaman), bersifat plural (pluralistic) dan terus menerus berubah.
Mereka beragumentasi bahwa realitas adalah sebagaimana dialami melalui
pengalaman setiap individu (Callahan and Clark, 1983).
2. Epistemologi
Menurut filsuf pragmatisme, suatu
pengetahuan hendaknya dapat diverifikasi dan diaplikasikan dalam kehidupan.
Adapun kriteria kebenarannya adalah workability,
sastisfaction, and result. Pengetahuan dinyatakan benar
apabila dapat dipraktekan, memberikan hasil dan memuaskan. Dapat disimpulkan
bahwa penetahuan bersifast rtelatif, pengetahuan dikatakan bermakna apabila
dapat diaplikasikan. Sebab itu Pragmatisme dikenal pula sebagai Instrumentalisme (Edward J. Power,
1982).
3. Aksiologi
Menurut paham pragmatisme, nilai
hakikatnya diturunkan dari kondisi manusia. Nilai tidak bersifat ekslusif,
tidak berdiri sendiri, melainkan ada dalam suatu proses, yaitu dalam
tindakan/perbuatan manusia itu sendiri. Karena manusia (individual) merupakan
bagian dari masyarakatnya, baik atau tidak baik tindakan-tindakannya dinilai
berdasarkan hasil-hasilnya di dalam masyarakat.
B.
Implikasi
terhadap Pendidikan
1. Tujuan Pendidikan
·
Kesehatan yang baik.
·
Keterampilan-keterampilan kejuruan (pekerjaan).
·
Minat-minat dan hobi-hobi untuk kehidupan yang
menyenangkan.
·
Persiapan untuk menjadi orang tua.
·
Kemampuan untuk bertransaksi secara efektif
dengan masalah-masalah sosial (mampu memecahkan masalah-masalah sosial secara
efektif).
2. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum Pendidikan harus menjadi:
·
Berbasis pada masyarakat.
·
Lahan praktek cita-cita demokratis.
·
Perencanaan demokratis pada setiap tingkat
pendidikan.
·
Kelompok batasan tujuan-tujuan umum masyarakat.
·
Bermakna kreatif untuk pengembangan
keterampilan-keterampilan baru.
·
Kurikulum berpusat pada siswa.
3. Metode Pendidikan
Sebagaimana dikemukakan Callahan dan
Clark (1983), penganut Eksperimentalisme atau Pragmatisme mengutamakan penggunaan
metode pemecahan masalah (problem solving
method) serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiry and discovery method).
4. Peran Guru dan Siswa
Untuk
membantu siswa guru harus berperan:
·
Menyediakan berbagai pengalaman yang akan
memunculkan motivasi.
·
Membimbing siswa untuk merumuskan batasan
masalah secara spesifik.
·
Membimbing merencanakan tujuan-tujuan individual
dan kelompok dalam kelas untuk digunakan dalam memecahkan masalah.
·
Membantu para siswa dalam mengumpulkan informasi
berkenaan dengan masalah.
·
Bersama-sama kelas mengevaluasi apa yang telah
dipelajari, bagaimana mereka mempelajarinya, dan informasi baru yang setiap
siswa temukann oleh dirinya (Callahan and Clark, 1983).
BAB VI
FILSAFAT PENDIDIKAN SCHOLASTISISME
A.
Konsep
Filsafat Umum
1.
Metafisika
Hakikat realitas, Menurut filsuf
Scholastisisme, bahwa alam semesta (universe) atau realitas adalah ciptaan
Tuhan Scholastisisme menganut prinsip hylemorpe sebagaimana diajarkan
Aristatoles (hyle berarti materi, morphe berarti bentuk). Prinsip ini menyatakan
bahwa segala sesuatu –kecuali Allah dan malaikat-merupakan kesatuan dari materi
dan bentuk. Prinsip ini memungkinkan kita memahami terjadinya perubahan.
2.
Epistemologi
Menurut
para filsuf Scholastisisme, bahwa kebenaran absolut dapat dperoleh manusia berdasarkan
keimanan (faith). Tetapi manusia pun
dapat memperoleh kebenaran tentang benda-benda melaluli rasio atau akal dengan
cara berpikir.
3.
Aksiologi
Untuk
menjadi baik/dapat berbuat baik, pertama-tama manusia harus mengetahui kebaikan
dalam aturan-aturan. Meskipun setiap manusia memiliki kecenderungan ke arah
yang baik (kepada kebaikan), pertimbangannya mungkin saja mengarahkannya kepada
kejahatan.
B.
Implikasi
terhadap Pendidikan
1. Tujuan Pendidikan
Pendidikan harus bertujuan untuk
mengembangkan potensialitas manusia secara penuh menurut doktrin Scholastic.
Adapun keseluruhan potensial manusia tersebut meliputi potensi intelektual,
fisikal, volisional (kemauan), dan juga vocasional.
2. Kurikulum Pendidikan
Isi
pendidikan harus meliputi agama dan ilmu kemanusiaan (humanities). Disiplin matematika, logika, bahasa, dan retorika juga
dipandang penting. Dalam konteks ini, isi pendidikannya meliputi pendidikan
liberal yang mencakup pengembangan mata pelajaran-mata pelajaran fundamental
yang berkenaan dengan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan
kemampuan-kemampuan intelektual.
3. Metode Pendidikan
Penganut Scholastisisme,
mengutamakan metode latihan formal (formal drill) dalam rangka mendisiplinkan
pikiran sedangkan dalam rangka persiapan jiwa, yaitu untuk memperkuat keimanan
dan kemauan berbuat kebijakan, penganut Scholastisisme mengutamakan metode
katekismus (catechism).
4. Peranan Guru dan Siswa
Guru harus menjadi teladan yang baik
bagi para siswanya. Guru mempunyai wewenang untuk mengatur kelas (pengelolaan
kelas berpusat pada guru), dalam hal ini struktur pelajaran yang dirancang guru
hendaknya diarahkan untuk membantu pengembangan pengetahuan, keterampilan
berpikir, dan untuk berbuat kebajikan.
BAB VII
FILSAFAT PENDIDIKAN EKSISTENSIALISME
Eksistensialisme merupakan
salah satu aliran filsafat yang mucul pada abad kedua puluh. Eksistensialisme
dirintis oleh filsuf Denmark bernama Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855).
Eksistensi
berarti manusia berdiri sebagai diri
sendiri dengan keluar dari dirinya sendiri (Harun Hadiwijono, 1992). Eksistensi
adalah cara manusia berada (mengada) di dunia. Eksistensi adalah cara manusia
beradanya manusia sebagai subjek (pribadi) yang sadar diri dan memiliki
penyadaran diri, yang ke luar dari dirinya sendiri.
A.
Filsafat
Umum Eksistensialisme
1. Metafisika
Para filsuf Eksistensialisme
mengakui adanya realitas yang bersifast fisik atau realitas yang bersifat
material, sedangkan realitas spiritual (Tuhan) diakui keberadaannya oleh para
filsuf Eksistensialisme yang religius (theistik). Sebaliknya, realitas
spiritual (Tuhan) tidak diakui keberadaannya oleh filsuf Eksistensialisme yang
atheis.
2. Epistemologi
Pengalaman bagi filsuf
eksistensialisme adalah pengalaman yang terhayati oleh individu sebagai subjek
atau pribadi. Bagaimanapun, pengetahuan manusia berasal dari pengalamannya.
3. Aksiologi
Para filsuf Eksistensialisme
berpendapat bahwa tidak ada nilai-nilai yang bersifat absolut, nilai-nilai
tidak ditentukan oleh kriteria dari luar. Setiap nilai ditentukan oleh
kebebasan memilih setiap pribadi perseorangan.
B.
Implikasi
terhadap Pendidikan
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan utama pendidikan menurut para
filsuf Eksistensialisme adalah untuk membantu manusia secara individual.
Artinya, untuk membimbing individu ke dalam suatu penyadaran diri dan
mengembangkan (to promote) komitmen
yang berhasil mengenai sesuatu yang penting dan bermakna bagi eksistensinya.
2. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum ideal bagi filsuf
Eksistensialisme akan mengutamakan:
1) Suatu
kurikulum aktivitas.
2) Minat
peserta didik sebagai dasar perencanaan aktivitas.
3) Kebebasan
yang penuh dari peserta didik untuk belajar secara individual maupun secara
kelompok.
4) Kurikulum
yang didasarkan atas kebutuhan-kebutuhan yang dekat.
5) Mengakui
perbedaan-perbedaan pengalaman individual peserta didik.
3. Metode Pendidikan
Menurut
para filsuf Eksistensial, pendidikan hendaknya dilaksanakan dengan
teknik-teknik pembelajaran nondirective.
Karena itu, kepastian dan rincian pelajaran yang direncanakan (direkayasa
secara ketat) tidaklah penting alasannya, rencana pembelajaran yang sudah
disusun atau direkayasa secara ketat akan menjadi pemaksaan minat dan
nilai-nilai orang dewasa (pendidik) terhadap peserta didik.
4. Peranan Pendidik dan Peserta Didik
Pendidik (guru) penganut
Eksistensialisme harus berperan sebagai pembimbing, karena itu ia harus
demokratis. Guru tidak boleh memaksakan tujuan-tujuan pribadinya kepada peserta
didik (siswa), dan pendidik (guru) harus terus membuat rencana-rencana secara demokratis
dengan para peserta didik (para siswa) atau dasar kebutuhan-kebutuhan dan
tujuan-tujuan peserta didik (Callahan and Clark, 1983).
BAB
VIII
PROGRESIVISME
A.
Latar
Belakang
Progresivisme
adalah gerakan pendidikan yang dilakukan oleh suatu perkumpulan yang dilandasi
konsep-konsep filsafat tertentu, dan sangat berpengaruh dalam pendidikan bangsa
amerika pad permulaan abad ke dua puluh. Perkumpulan Pendidikan Progresivisme (The Progressive Education Association)
didirikan pada tahun 1918, selama dua puluh tahun a tau lebih Progresivisme
merupakan “jiwa” yang merasuki pendidian bangsa Amerika. Progresivisme
menentang dan menolak formalisme yang berlebihan dan membosankan dari
praktek-praktek sekolah atau pendidikan yang tradisional.
B.
Filsafat
Pendukung/Yang Melandasi
Progresivisme
didukung atau dilandasi oleh filsafat Pragmatisme dari John Dewey (1859-1952).
Dewey memang merupakan orang yang paling dikenal mempengaruhi dan berperan
dalam rangka pendirian serta perkembangan progresivisme.
C.
Pandangan
Filsafat Umum yang Melandasinya
1. Pandangan Ontologi
Evolusionistis dan Pluralistis.
Progresivisme bersifat anti metafisika. Alam semesta yang disebut dunia memang
diakui adanya sebagai suatu relitas, tetapi hal ini tiak dipandang sebagai
sesuatu yang bersifat substansial.
Manusia. Progresivisme memandang
manusia sebagai subyek yang bebas dan memiliki potensi intelegensi (akal dan
kecerdasan) sebagai instrumen untuk mampu menghadapi dan memecahkan berbagai
masalah sehingga ia memiliki kemampuan untuk menghadapi dunia dan lingkungan
hidupnya yang multi komploeks, berubah dan berkembang.
2. Pandangan Epistemologi
Sumber pengetahuan. Progresivisme
mengajarkan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalu pengalaman dimana menusia
kontak langsung dengan segala realita dalam lingkungan hidupnya, atau juga
melalui pengalaman secara tidak langsung yaitu melalui catatan-catatan yang
diwariskan seperti buku atau literatur lainnya.
3. Pandangan Aksiologi
Sumber nilai: kondisi riil
manusia/pengalaman. Progresivisme menafsirkan hakikat nilai etika) secara
empiris, yaitu berdasarkan pengalaman atau kondisi riil manusia. Nilai tidak
diturunkan dari sesuatu yang bersifat non empiris atau yang bersifat
supernatural seperti wahyu Tuhan dsb.
D.
Konsep
tentang Pendidikan
1. Definisi Pendidikan
Progresivisme menekankan enam prinsip
mengenai pendidikan dan atau belajar, yaitu bahwa:
1) Pendidikan
seharusnya adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan untuk kehidupan.
2) Belajar
harus langsung berhubungan dengan minat anak.
3) Belajar
melalui pemecahan masalah hendaknya diutamakan daripada pemberian bahan
pelajaran.
4) Guru
berperan sebagai pemberi advise, bukan untuk mengarahkan.
5) Sekolah
harus menggerakan kerjasama daripada kompetisi.
6) Demokrasilah
satu-satunya yang memberi tempat dan menggerakan pribadi-pribadi saling tukar
menukar ide secara bebas, yang diperlukan untuk pertumbuhan sesungguhnya.
2. Tujuan Pendidikan
Tujuan Pendidikan. Bagi penganut
Progresivisme pendidikan bertujuan agar peserta didik (individu) memiliki
kemampuan memecahkan berbagai masalah baru dalam kehidupan pribadi maupun
kehidupan sosial, atau dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang berada
dalam proses perubahan.
3. Kurikulum
Kurikulum hendaknya disesuaikan dengan
sifat-sifat peserta didik (minat, bakat, dan kebutuhan setiap peserta didik)
atau child centered, juga harus
bersumber dari kehidupan yang riil dan wajar, yaitu berasal dari lingkungan
(alamiah maupun sosial-budaya).
4. Metode
Metode pendidikan yang diutamakan
Progresivisme adalah metode pemecahan masalah (Problem solving method), serta metode penyelidikan dan penemuan (Inquiry and discovery method). Dalam
pelaksanaannya dibutuhkan guru yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
permissive (pemberi kesempatan), friendly (bersahabat), a guide (seorang
pembimbing), open minded (berpandangan terbuka), creative (kreatif), social
aware (sadar bermasyarakat), enthusiastic (antusias), cooperative and sincere
(bekerjasama dan sungguh-sungguh) (Callahan and Clark, 1983)
5. Peranan Pendidik dan Peserta Didik
Edward J. Power (1982) menyimpulkan
bahwa guru berperan untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut
campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan peserta didik, sedangkan peserta
didik berperan sebagai organisme yang rumit yang mempunyai kemampuan luar biasa
untuk tumbuh.
BAB IX
ESENSIALISME
A.
Latar
Belakang
Esensialisme dikenal sebagai
gerakan pendidikan dan juga sebagai aliran filsafat pendidikan. Esensialisme
berusaha mencari dan mempertahankan hal-hal esensial, yaitu sesuatu yang
bersifat inti atau hakikat fundamental, atau unsur mutlak yang menentukan
keberadaan sesuatu. Menurut esensialisme, yang esensial tersebut harus
diwariskan kepada generasi muda agar dapat bertahan dari waktu ke waktu, karena
itu esensialisme tergolong Tradisionalisme.
B.
Filsafat
Pendukung/Yang Melandasi
Esensialisme
didukung atau dilandasi oleh filsafat idealisme dan Realisme. Filsuf-filsuf
besar Idealisme peletak dasar asas-asas esensialisme yang hidup pada zaman
klasik yaitu: Plato, sedangkan filsuf idealisme modern adalah Leibniz, Immanuel
Kant, Hegel dan Schopenhauer.
C.
Pandangan
Filsafat Umum yang Melandasinya
1. Pandangan Ontologi
Pandangan ontologis Esensialisme
merupakan suatu konsepsi bahwa dunia atau realitas ini diakui oleh tata (order) tertentu yang mengatur dunia beserta
isinya. Hal ini berarti bahwa bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan
cita-cita, dan perbuatan manusia harus disesuaikan dengan tata tersebut.
2. Pandangan Epistemologi
a.
Epistemologi
Idealisme
Sumber
Pengetahuan. Kesadaran manusia adalah bagian dari kesadaran yang absolut, pola
desain dan totalitas mikrokosmos sama dengan makrokosmos, sekalipun terdapat
perbedaan hanyalah skalanya saja. Karena itu, dalam diri manusia tercermin
suatu harmoni dengan alam semesta, khususnya pikiran manusia (human mind).
b.
Epistemologi
Realisme
Sumber
Pengetahuan, Menurut realisme objektif sumber pengetahuan adalah dunia luar
subjek, pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dia, atau pengamatan.
Kriteria
Kebenaran. Suatu pengetahuan diakui benar jika pengetahuan itu sesuai dengan
realitas eksternal (yang objektif) dan independen. Sebab itu, uji kebenaran
pengetahuan dilakukan melalui uji korespondensi pengetahuan dengan realitas.
3. Pandangan Aksiologi
a.
Aksiologi
Idealisme
Para
filsuf idealisme sepakat bahwa nilai hakikatnya diturunkan dari realitas
absolut (yaitu: dari Tuhan sebagai Pribadi bagi penganut idealisme Theistik,
atau dari suatu kekuatan spirit impersonal dari alam bagi penganut idealisme
pantheistik yang mengidentikan Tuhan dengan alam). Karena itu, nilai-nilai
adalah abadi atau tidak berubah (Callahan and Clark, 1983).
b.
Aksiologi
Realisme
Para
filsuf Realisme percaya bahwa standar nilai tingkah laku manusia diatur oleh
hukum alam, dan pada taraf yang lebih rendah diatur melalui konvensi atau
kebiasaan, adat istiadat di dalam masyarakat (Edward J. Power, 1982).
D.
Konsep
tentang Pendidikan
1. Definsi Pendidikan
Pendidikan
merupakan upaya untuk memelihara kebudayaan, “Education as Cultural Conservation”. Mereka percaya bahwa
pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak
awal peradaban umat manusia.
2. Tujuan Pendidikan
Pendidikan
bertujuan mentransmisikan kebudayaan untuk menjamin solidaritas sosial dan
kesejahteraan umum (E.J. Power, 1982).
3. Kurikulum
Kurikulum terdiri atas berbagai mata
pelajaran yang berisi ilmu pengetahuan, “agama, dan seni, yang dipandang
essensial. Adapun sifat organisasi isi kurikulum adalah berpusat pada mata
pelajaran (subject matter centered).
4. Metode
Dalam
hal metode pendidikan, Esensialisme menyarankan agar sekolah-sekolah
mempertahankan metode-metode tradisional yang berhubungan dengan disiplin
mental.
5. Peranan Pendidik dan Peserta Didik
Guru
atau pendidik berperan sebagai mediator atau jembatan antara dunia masyarakat
atau orang dewasa dengan dunia anak.
Peran peserta didik adalah belajar,
bukan untuk mengatur pelajaran. Menurut idealisme belajar yaitu menyesuaikan
diri pada kebaikan dan kebenaran seperti yang telah ditetapkan oleh yang
absolut (Madjid Noor, dkk, 1987).
BAB X
PERENIALISME
A.
Latar
Belakang
Penganut
Perennialisme percaya mengenai adanya nilai-nilai, norma-norma yang bersifat
abadi dalam kehidupan ini. Atas dasar itu, penganut Perennialisme memandang
pola perkembangan kebudayaan sepanjang zaman
adalah sebagai pengulangan dari apa yang pernah ada sebelumnya.
B.
Filsafat
Pendukung/Yang Melandasi
Parennialisme
dilandasi atau didukung oleh filsuf Yunani Klasik, yaitu Plato (427-347 SM) dan
Aristoteles (384-322 SM). Adapun pada abad kedua puluh Perennialisme
dipengaruhi dan didukung oleh Filsafat Humanisme Rasional dan Supernaturalisme
Thomas Aquinas.
C.
Pandangan
Filsafat Umum yang Melandasinya
1. Pandangan Ontologi
Menurut
Perennialisme, manusia terutama membutuhkan jaminan bahwa “realitas bersifat
universal-realitas itu ada di mana pun dan sama di setiap waktu. Realitas
bersumber dan bertujuan akhir kepada realita supernatural/Tuhan (asas
supernatural). Realitas mempunyai watak bertujuan (asas teleologis). Substansi
realitas adalah bentuk dan materi (hylemorphisme).
2. Pandangan Epistemologi
Sebagai makhluk berpikir, manusia
akan dapat memperoleh pengetahuan tentang diri kita dan dunia sebagaimana
adanya. Memang perennialisme mengakui bahwa impresi atau kesan melalui
pengamatan tentang individual thing
adalah pangkal pengertian tentang kebenaran. Tetapi manusia akan memperoleh
tahu (pengetahuan) lebih tepat jika berstandar pada asas-asas kepercayaan dan
bantuan wahyu, dan itulah tahu dalam makna tertinggi, yang ideal.
3. Pandangan Aksiologi
Pandangan tentang hakikat nilai
menurut Perennialisme adalah pandangan mengenai hal-hal yang bersifat
spiritual. Yang Absolut atau Ideal (Tuhan) adalah sumber nilai dan oleh karena
itu nilai selalu bersifat teologis (Imam Bernadib, 1984).
D.
Konsep
Pendidikan
1. Definisi Pendidikan
Parennialisme
memandang education as cultural
regression, pendidikan sebagai jalan kembali, atau proses mengembalikan
keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau yang dianggap
sebagai kebudayaan ideal.
2. Tujuan Pendidikan
Tujuan
pendidikan adalah membantu peserta didik menyingkapkan dan menginternalisasikan
nilai-nilai kebenaran yang abadi agar mencapai kebijakan dan kebaikan dalam
hidup.
3. Kurikulum
Kurikulum pendidikan bersifat subject centered atau berpusat pada
materi pelajaran. Materi pelajaran harus bersifat uniform, universal dan abadi.
Selain itu, materi pelajaran terutama harus terarah kepada pembentukan
rasionalitas manusia atau kemampuan berpikir, sebab demikianlah hakikat
manusia.
4. Metode
Metode pendidikan atau metode
belajar utama yang digunakan oleh penganut Perennialisme adalah membaca dan
diskusi, yaitu membaca dan mendiskusikan karya-karya besar yang tertuang dalam The Great Books. Hal ini dipandang baik
dalam rangka latihan untuk mendisiplinkan pikiran para peserta didik.
5. Peranan Pendidik dan Peserta didik
Peranan
guru bukan sebagai perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan
mengembangkan potensi-potensi self
discovery, dan ia melakukan moral
authority (otoritas moral) atas murid-muridnya, karena ia seorang
profesional yang quilified dan superior dibandingkan muridnya.
BAB XI
FILSAFAT PENDIDIKAN KONSTRUKTIVISME
A.
Konsep
Filsafat Umum
1. Metafisika
Menurut konstruktivisme, manusia
tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Yang
dapat kita mengerti hanyalah struktur konstruksi kita akan sesuatu objek
(Shapiro, 1994). Konstruktivisme memang tidak bertujuan mengerti realitas
secara ontologis, tetapi lebih hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan
sesuatu.
2. Epistemologi dan Aksiologi
Filsuf Realisme atau Empirisme
(misalnya Aristatoles, Jhon Locke) menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah
dunia luar, semua pengetahuan diturunkan dari pengalaman atau observasi atas
alam semesta.
B.
Implikasi
terhadap pendidikan
Dalam
konstruktivisme istilah pendidikan lebih diartikan sebagai mengajar. Bagi
penganut konstruktivisme, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan
dari guru kepada murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa
membangun sendiri pengetahuannya.
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan
pendidikan (pengajaran) atau tujuan pengajaran konstruktivisme lebih menekankan
pada perkembangan konsep dan pengertian (pengetahuan) yang mendalam sebagai
hasil konstruksi aktif si pelajar (Fosnot, 1996).
2. Kurikulum Pendidikan
Driver
dan Oldham (Matthews, 1994) menyatakan, bahwa perencana kurikulum
konstruktivisme tidak dapat begitu saja mengambil kurikulum standar yang
menekankan siswa pasif dan guru aktif, sebagai cara mentransfer pengetahuan
dari guru kepada murid.
3. Metode Pendidikan
Setiap pelajar mempunyai caranya
sendiri untuk mengerti, karena itu mereka perlu menemukan cara belajar yang
tepat untuk dirinya masing-masing. Dalam konteks ini maka tidak ada satu metode
mengajar yang tepat, satu emtode mengajar saja tidak akan banyak membantu
pelajar belajar, sehingga pengajar sangat mungkin untuk mempertimbangkan dan
menggunakan berbagai metode yang membantu pelajar belajar.
4. Peran Guru dan Siswa
Dalam
kegiatan mengajar guru hendaknya berperan sebagai mediator dan fasilitator yang
membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan baik. Adapun peserta
didik dituntut aktif belajar dalam rangka mengkonstruksi pengetahuannya, dan
karena itu peserta didik sendirilah yang harus bertanggung jawab atas hasil
belajarnya.
BAB XII
FILSAFAT PENDIDIKAN NASIONAL: PANCASILA
A.
Konsep
Filsafat Umum
1.
Metafisika
Hakikat Realitas. Bangsa Indonesia
meyakini bahwa realitas atau alam semesta tidaklah ada dengan sendirinya,
melainkan sebagai ciptaan (makhluk) Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan adalah sumber
pertama dari segala yang ada, Ia adalah
sebab pertama dari segala sebab, tetapi Ia tidak disebabkan oleh sebab-sebab
yang lainnya, dan ia juga adalah tujuan akhir segala yang ada.
2. Epistemologi
Hakikat Pengetahuan. Segala
pengetahuan hakikatnya bersumber dari sumber pertama yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Tuhan telah menurunkan pengetahuan baik melalui Utusannya (berupa wahyu) maupun
melalui berbagai hal yang digelarkanNya di alam semesta termasuk hukum-hukum
yang terdapat di dalamnya.
3. Aksiologi
Hakikat Nilai. Sumber pertama segala
nilia hakikatnya adalah Tuhan YME. Karena manusia adalah makhluk Tuhan, juga
adalah pribadi dan sekaligus insan sosial, maka hakikat nilai diturunkan dari
Tuhan YME, masyarakat dan individu.
B.
Implikasi
Terhadap Pendidikan
1.
Makna Pendidikan
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara (Pasal 1 UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional).
2.
Tujuan
Pendidikan
Pendidikan
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menajadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
3. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum
disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Peningkatan
Iman dan Taqwa.
b. Peningkatan
akhlak mulia.
c. Peningkatan
potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik.
d. Keragaman
potensi daerah dan lingkungan.
e. Tuntutan
pembangunan daerah dan nasional.
f. Tuntutan
dunia kerja.
g. Perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
h. Agama.
i.
Dinamika perkembangan global.
j.
Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
4. Metode Pendidikan
Penggunaan metode pendidikan diharapkan
memperhatikan prinsip cara belajar siswa aktif (CBSA) dan sebaliknya bersifat
multi metode.
5. Peran Pendidik dan Peserta Didik
Dalam semboyan ing ngarso sung tulodo artinya pendidik harus memberikan atau
menjadi teladan bagi peserta didiknya. ing
madya mangun karso artinya pendidik harus mampu membangun karsa pada diri
peserta didiknya, dan tut wuri handayani artinya
bahwa sepanjang tidak berbahaya pendidik harus memberi kebebasan atau
kesempatan kepada peserta didik untuk belajar mandiri.
Berarti politik komunis dipakai pada saat Orde baru, karena PPP dan PDI bukan oposisi cuma lelucon politik. Keputusan berpusat kepada Pak Harto, karena demokrasi nya lain dari yg lain maka disebutlah demokrasi pancasila, dan biar partainya gak seperti PKI maka dibilanglah Golongan Karya, karena pd saat itu yg namnya partai identik dgn kerakusan politik wkwkwkwk hebat ya AS lewat tangannya pak Harto bs menguasai Emas nya Papua, begitu gak mas brow?
BalasHapusperde modelleri
BalasHapusNumara Onay
Mobil Odeme Bozdurma
nft nasıl alınır
ankara evden eve nakliyat
trafik sigortası
dedektör
KURMA WEB SİTESİ
ask kitaplari